Setiap manusia mempunyai mimpi,
begitupun Fahira Nurul Haura’ yang akrab dipanggil Fira, kini sedang duduk di
bangku SD kelas 6. Fira anak ketiga dari tiga bersaudara. Dia mempunyai mimpi
besar yaitu menjadi seorang guru Bahasa Arab dan berimpian meluncur ke Mesir
menuju Kairo tepatnya ke Universitas Al-Azhar, Universitas tertua dunia. Dia ingin menggapai mimpi itu melalui
jalur pondok.
“Ibu,
Ayah, Fira boleh mondok ya?” tanya Fira.
“Yo
karepmu, asalkan kamu betah saja di sana.” jawab Ibu.
“Bener
ndok kata Ibumu. Lagipula kamu kan anak mbontot. Takutnya kamu ndak
betah di sana.” sahut Ayah.
“Insya
Allah, Fira betah, Bu. Fira kan kepengin kayak Mas Sesha kuliah di Al-Azhar
University of Cairo.” jawabnya dengan mantap.
“Yowes,
Ibu sama Ayah ndak mau maksa, karena toh itu kemauanmu sendiri
dan yang menjalaninya nanti yo kamu sendiri.” sahut Ibu.
“Lalu
kapan Fira mulai mondok di Pondok Gontor, Bu?” tanya Fira.
“Lek
habis Ujian gimana?” sahut Ayah.
“Ide
bagus, Ayah.” jawab Fira dengan wajah
gembira.
Hari-hari terus berjalan, hingga
akhirnya Ujian telah selesai dan saatnya pengumuman hasil kelulusan. Betapa
senangnya Fira mendapatkan peringkat 3 se-SDnya. Dia langsung bersujud
mengucapkan syukur kepada-Nya.
“Alhamdulillah... Syukron Yaa
Robbii..” ucap Fira.
Ia segera pulang dengan membawa senyum
kegembiraan.
“Saiki, Fira mau minta janji
Ayah sama Ibu kalau habis Ujian, Fira mau mulai mondok di Gontor! Pokoknya harus minggu ini Fira ke
Gontor” pinta Fira.
“Nanti dulu Ndok, lihat kondisi Ayahmu,
beliau sedang sakit. Tunggu sampai beliau sembuh dulu, baru kita sekeluarga
berangkat ke Ngawi ” sahut Ibu.
“Iya,
Fir. Jangan egois seperti itu sayang. Itu ndak baik. Lagipula Gontor itu
jauh di Ngawi, Fir. Purbalingga-Ngawi butuh waktu 8-9 jam. Urungkan dulu
niatmu. Pikirkan dulu matang-matang, siapkan dulu mentalmu. Jangan sampai kayak
adiknya temen mbak yang ndak betah di sana, kur pirang dina
thok nang kana cah.” sahut Mbak Isna, salah satu kakak Fira.
“Pokoknya
harus minggu ini..!!” pinta Fira dengan sedikit membentak. Matanya mulai
mengeluarkan air mata dan langsung masuk ke dalam kamarnya dengan menggebrak
pintu kamar yang akan dikuncinya
dari dalam.
Dengan
air mata yang masih membanjiri pelupuk matanya, Fira segera mencari buku-buku
tentang pondok yang akan dia singgahi itu, Pondok Modern Darussalam Gontor
Putri 2 Ngawi, Jawa Timur termasuk brosur pendaftaran yang selalu berada di
dalam tasnya untuk mengurangi kesedihannya.
Sementara
di luar, Ibu, Ayah dan kedua kakak Fira berdiskusi masalah Fira tadi. Akhirnya
mereka sepakat untuk tetap mengantarkan Fira ke PMDGP 2 pada hari kamis
malam, karena jika mereka berangkat malam, maka jalanan masih sepi dan tidak
rawan terjadi macet, sampainya juga pagi hari, matahari masih belum menampakkan
sinarnya.
“Keluar
sebentar, Ndok.” pinta kakak pertama Fira, Mas Sofyan namanya,
tapi lebih akrab dipanggil Mas Iyan. Dengan perasaan masih emosi, Fira
keluar dari kamarnya.
Ayah
memulai pembicaraan tentang rencana untuk mengantar Fira di hari kamis
mendatang. Tanpa basa-basi, saat Fira mendengar ucapan ayahnya bahwa ia akan
diantar ke sekolah barunya hari kamis mendatang, ia langsung memeluk Ibundanya
dan mencium pipinya. “Terimakasih Yaa Allah, Engkau telah mengabulkan do’aku.”
ucapnya dalam hati.
Kamis
di pagi harinya, Fira dan Mbak Isna mempersiapkan segala kebutuhan yang
akan dibawa ke pondok. Mulai dari 4 stel pakaian dan rok panjang, disana boleh
memakai celana panjang bukan jeans atau sejenisnya jika pada waktu-waktu
tertentu saja, itu juga hanya sekali-dua kali memakainya, kecuali pakaian
olahraga yang bawahannya memakai celana panjang. Kemudian, Fira juga menyiapkan
peralatan mandi, disana dia harus mandiri, mencuci pakaian, peralatan makan
harus sendiri. Sampai terakhir saat Mbak Isna beranjak pergi ke dapur,
ia tak lupa menyelipkan foto Mbak Isna dan Ibunya.
Malam
harinya, sekitar pukul 22.00 WIB, Fira dan keluarganya berangkat menuju Ngawi
dengan menggunakan mobil milik salah satu sanak saudara Ayah. Di perjalanan,
yang ada Fira hanya bermain terus-menerus dengan Mbak Isna hingga mereka
berdua akhirnya terlelap tidur terhipnotis angin malam yang memang sedang
dingin-dinginnya.
***
Esok
harinya, mereka rehat sebentar untuk menunaikan sholat Shubuh di sebuah
rumah makan tak jauh dari pondok gontor, hanya beberapa meter saja, sekalian
juga mandi dan makan di sana.
Sampai
di pondok, Fira kagum dengan pondok barunya yang akan dia tempati, “Subhanallah..”
dalam hatinya. Di kejauhan terdengar suara anak bercakap-cakap dengan
menggunakan bahasa Arab. “Sobaakhul khoir, yaa Shodiiqoh..”,
“Sobaakhunnuur..”, “Sur’ah ilal fashli..!!”, “Na’am..”. Di Pondok Gontor
setiap 10 kamar membentuk satu rayon. Rayon di sana bermacam-macam nama,
yaitu ada rayon Damaskus, rayon Yerussalem, rayon Makkah, rayon Madinah, rayon
Beirut, rayon Iskandaria, dan masih ada lagi yang lain. Fira melihat semua itu
seperti surga dunia yang baru pernah dijumpainya. Ia bertemu dengan teman baru
saat pendaftaran.
“Kenalkan,
namaku Fahira Nurul Haura’ dari Purbalingga, Jawa Tengah. Kamu boleh panggil
aku Fira. Nama kamu siapa?” Fira mencoba memperkenalkan diri.
“Namaku
Nur Fitria Hidayati, panggil saja aku Fitri. Aku dari Palembang, Sumatera
Selatan.” jawab Fitri. Mereka berdua mulai akrab.
Malam pun tiba, saatnya tes masuk
pondok. Fira sedikit gugup menghadapinya. Tes itu terdiri dari pelajaran
matematika, imla’/dikte menulis arab, pengetahuan agama, dan masih
banyak lagi. Ada juga tes sholat dan membaca Al-Qur’an. Fira yang sudah khatam
beberapa kali harus mengulang di Iqro’ 6 karena saat membaca Al-Qur’an,
nafasnya masih kurang panjang. Pengumuman tes akan menentukan kelas dan akan
ditempelkan esok paginya di Mading.
Fira mendapat kamar 6 rayon Yerussalem
yang sama dengan Fitri. Sebelum meninggalkan Fira, Ibu dan Mbak Isna sempat merapikan barang-barang Fira di
sebuah kamar seukuran ruangan kelas yang berisi sekitar 15 orang. Mereka tidur dengan kasur lantai dan
mempunyai sebuah lemari yang terletak di bagian belakang tempat tidur
masing-masing santriwati. Waktu untuk Ibu dan Mbak Isna meninggalkan
Fira pun tiba, Fira berusaha tabah dan tetap tersenyum walaupun matanya sudah
terlihat memerah. Saat perpisahan itu, Fira hanya mencium tangan Ibu dan Mbak Isna, karena laki-laki dilarang masuk ke lingkungan rayon santriwati.
“Ibu, Mbak Isna, do’akan Fira
sehat selalu di sini ya.” terang Fira.
“Insya
Allah.
Masih ada Allah dan teman-temanmu disini kan.” sahut Ibu.
“Nggih, Bu. Fira pamit, Mbak, Bu.”
Dari balik
pintu kamar, Fira mengintip pergerakan Ibu dan Mbak Isna sampai tidak
terlihat lagi. Air matanya mulai menetes perlahan, hatinya sakit, serasa diiris
sebilah pisau. Tapi ia harus tabah, karena itu adalah pilihan dia sendiri, demi
masa depan yang lebih cerah. Di kamarnya, ia bersebelahan tempat tidur dengan
Fitri.
***
Esok
harinya, Fira bangun untuk sholat Shubuh berjama’ah di lapangan, tepatnya di
halaman depan rayon Damaskus. Setelah itu, Fira mengantri untuk mandi pagi di
kamar mandi yang letaknya di belakang setiap rayon. Setiap satu bak air
digunakan untuk beberapa kamar mandi, jadi kalau bak air untuk mandi dan
mencuci itu kotor ya wajar, karena pastinya sudah banyak yang memakainya. Tanah
di Ngawi kering sehingga air di Ngawi juga terasa tidak seperti air yang
normal, berbeda jauh dengan air di Purbalingga.
“Sur’ah..
Sur’ah..
Cepat.. Cepat.. Kamissaa’atul aan! Sudah jam berapa
sekarang!” teriak seorang santriwati dengan menggedor-nggedor pintu salah satu kamar
mandi. Suasana di sekitar kamar mandi mulai ricuh. Kesabaran mereka mulai
memuncak. Fira tetap bersabar, hingga tersisa hanya beberapa santriwati saja.
Setelah
mandi, dia terkejut, karena hanya tinggal dia seorang yang berada di kamar
mandi. Fira pergi ke kamarnya dan dilihatnya teman-temannya sedang memakai
sepatu mereka. Fira membereskan buku-bukunya dan segera berangkat menuju kelas.
Fira mendapatkan kelas F3, kelas urutan unggulan ke-3, karena santriwati pandai
yang mengikuti tes kemarin berada di kelas F1. Sesampainya di depan kelas-kelas
santriwati, Fira tampak bingung, karena ia belum tau dimana kelasnya berada.
Fira segera bertanya dengan Ustadzah Yohanna yang sedang berjalan mengelilingi
kelas-kelas.
“Assalamu’alaikum
Ustadzah, ‘afwan, ana mau bertanya, kelas F3 ada dimana ya?” tanya Fira.
“Wa’alaikumussalam
Warohmatulloh, oh iya nak. Di sebelah sana.” jawab Ustadzah Yohanna dengan
menunjuk sebuah ruang kelas yang dekat dengan Tempat Pembuangan Sampah (TPS).
***
Hari mulai berlalu begitu lambatnya menurut Fira. Karena
kesehariannya, dia hanya termenung, menangis, dan sesekali menelpon ke orang
rumah di Purbalingga dengan pergi ke wartel pondok. Saat itu tiga hari Fira
berada di sana. Sholat Shubuh kan tiba. Fira mengantri mengambil air wudhu.
Sholat Shubuh berjama’ah dilakukan seperti biasa di halaman rayon Damaskus
dengan diawali puji-pujian. “Ilahiilas tulilfirdaus siahlaan, walaa aqwaa
‘alannaaril jahiimi..”. Sholat Shubuh pun tiba, semua santriwati berbondong-bondong menuju
halaman rayon Damaskus. Kejadian tidak terduga pun terjadi saat pertengahan
sholat. Fitri yang berada di depanku, tiba-tiba melemas dan jatuh pingsan,
tetapi kami semua tetap melaksanakan sholat hingga selesai.
“Walah, iki sopo, soko rayon lan kamar ndi?” sahut seorang Ukhti (sahutan kepada anak
yang tidak lulus pada tahun sebelumnya/berarti “kakak perempuanku”) sembari menolong Fitri.
“Ini sohib satu kamar ana di rayon Yerus 6, Ukh. ‘Afwan sudah merepotkan. Syukron sebelumnya.” balas Fira
sembari memapah Fitri menuju kamar. Fira tidak tega meninggalkan Fitri sendiri
di kamar, tetapi ia harus segera masuk kelas. Akhirnya Fira hanya mengantarkan
sarapan dari kantin santriwati untuk Fitri di kamar.
***
Pagi itu, hari kelima Fira berada di PMDGP 2, tepatnya di hari
Jum’at. Santriwati rayon Yerussalem berbondong-bondong keluar dari kamarnya
dengan mengenakan pakaian pondok berwarna merah muda yang di bagian belakangnya
bertuliskan “PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR PUTRI” untuk menerima mufrodat
(kosakata) baru. Di depan rayon Yerussalem, para santriwati telah bersiap-siap
membentuk dua barisan berhadap-hadapan satu sama lain. “Khammaamun
artinya kamar mandi.. Dalwun
artinya ember.. Baabun artinya pintu.. Mirkhaadun artinya WC/Toilet.. ” Ustadzah mulai memberikan mufrodatnya.
Setelah belajar mufrodat baru, semua santriwati
dari semua rayon melakukan SKJ (Senam Kesehatan Jasmani) di lapangan pondok.
Semua tampak sudah bisa melakukan SKJ tersebut, hanya beberapa saja yang belum
bisa, mungkin saat SD/MI dulu sudah pernah diajarkan oleh guru penjas mereka
termasuk juga Fira, ia sudah mahir bergeraknya, karena saat di SD dulu SKJ
masuk ke dalam ujian prakteknya.
SKJ selesai, kini semua santriwati lari berurutan
mengelilingi area pondok. Suasana menjadi ramai seusai berlari. Mereka semua
berkumpul kembali di halaman kantor Ustadzah-Ustadzah yang luas. Hal yang
ditunggu-tunggu akhirnya akan datang, yaitu pengumuman RAYON TERBERSIH dan
RAYON TERKOTOR yang diumumkan setiap minggu. Semua santriwati merasa deg-degan
dengan pengumuman yang akan disampaikan.
“Sebuah plang bertuliskan “RAYON TERBERSIH” akan
diberikan kepada rayon..............YERUSSALEM........!!!!!!” teriak Ustadzah.
“Alhamdulillaahirobbil’aalamiin.....Syukron
Yaa Allah.”
teriak para santriwati asal rayon Yerussalem.
“Dan sebuah plang bertuliskan “RAYON TERKOTOR” akan
diberikan kepada rayon..............mana ayo?” tanya Ustadzah.
“Damaskus..!! Damaskus..!! Damaskus, Ustadzah..!!” teriak
seorang santriwati asal rayon Damaskus.
“Benar.. rayon Damaskus... Kalian itu seharusnya selalu
menjaga kebersihan rayon, ingat annadzhofatu minal iiman (kebersihan sebagian
dari iman). Anggap saja kamar yang kalian tempati sebagai kamar rumah kalian,
dan kamar yang lain dalam satu rayon sebagai tetangga-tetangga kalian, halaman
rayon sebagai halaman rumah kalian yang mesti dijaga kebersihannya agar kalian
tetap sehat dan nyaman di rayon Damaskus. Kalian juga harus pintar-pintar
bekerja sama saling membantu antar teman jika mereka membutuhkan, ini tidak
hanya untuk rayon Damaskus saja, tetapi juga untuk rayon Yerussalem, Makkah,
Madinah, Beirut, Iskandaria, dan yang lainnya. Fahimtum? (kalian faham)?” jelas
Ustadzah Qonnita.
“Na’am, fahimna (Ya, kami faham).” jawab santriwati dengan
serentak.
“Ayo sekarang kalian lakukan Jum’at bersih membersihkan
rayon kalian masing-masing.” seru Ustadzah Amalia.
Fira dan teman-teman segera masuk ke kamar.
“Putri dan Nawar! Kalian bertugas membersihkan di dalam
kamar ini dan yang lain membersihkan kamar mandi.” titah Ustadzah.
“Baik, siap Ustadzah.” jawab Putri dan Nawar hampir
bersamaan.
“Yah, Ustadzah.” sesal salah satu santriwati, Mayang.
Di dalam kamar mandi, yang ada kami hanya terkejut
melihat sesuatu yang ada di dalam bak air yang panjang itu.
“Yaa Allah.. Kok bak mandi isinya kayak gini ya? Kada etis
pisan (tidak
sopan sekali.” sahut Muthia, seorang santriwati yang berasal dari Kalimantan
Selatan.
“Na’am, haadzihii najis (ya, ini najis). Coba
Fitri, anti (kamu
perempuan) cari gantungan baju yang sudah ndak dipakai, juga untuk
yang lain, siapa yang berani masuk ke dalam bak dengan ana untuk membersihkan bak?”
kata Fira.
“O.K. my bestfriend.” jawab Fitri dengan senyumannya.
“Ana mau Fira.” sahut Mayang dan Putri.
Selang waktu kemudian, tiba-tiba Mbak Isna berada di
belakang Fira.
“Fira...” suara Mbak Isna.
“Mbak Isnaaa... Fira
kangen..” sahut Fira dengan tetes air mata yang mengalir kian deras.
“Mbak Isna juga kangen. Ndang ke depan rayon. Ibu
sudah disana.” pinta Mba Isna.
Tidak lama
kemudian, Fira bertemu dengan Ibundanya di halaman rayon.
“Firaa...
Ibu kangen sama Fira.. Jangan nangis terus sayang, Ibu sudah di sini. Fira
betah apa ndak? Apa Fira mau pulang saja?” kata Ibu.
“Fira sudah
lumayan betah bu di sini, tapi menurut ibu bagaimana seharusnya? Kalau Fira
disuruh pulang, ya Fira mau-mau saja. Asalkan nanti masih ada SMP/MTs yang
masih mau menerima Fira. Fira belum kerasan sama airnya, Bu. Sikat gigi saja
Fira harus pakai air minum. Jadi satu hari Fira bisa menghabiskan 1,5 liter
buat minum sama gosok gigi, Bu.”
“Sudah Fira
pulang saja ya. Ibu belum tega meninggalkanmu di sini sendirian. Sementara
saudaramu, mba Diana, kan ada di Gontor 3. Nanti kalau lulus SMP mungkin Fira
sudah semakin dewasa dan mandiri. Nanti baru masuk pondok lagi ya.” pinta Ibu.
“Baik, Bu.
Fira akan menuruti kata Ibu saja. Maaf ya, Bu. Fira sudah mengkhawatirkan Ibu.
Maaf juga sewaktu itu, saat Fira ngotot ingin pergi kesini.” sesal Fira dengan
tangisannya yang sudah tidak bisa ditutup-tutupi.
Di dalam
kamar Yerussalem 6 berisi suasana haru.
“Fira, anti mau ngapain?” tanya
Fitri.
“Ana mau pulang.” jawab
Fira.
“Pulang
untuk selamanya?” tanya Fitri lagi.
“Na’am,
Ma’annajah fil ma’had! Man Jadda Wajada (Ya, semoga sukses di dalam pondok! Siapa yang
bersungguh-sungguh, dia akan berhasil)” sahut Fira.
Berlinanglah
air mata Fitri dan teman-teman sekamar yang lainnya. Ibu dan Mbak Isna mulai mengemas-ngemasi
barang-barang Fira.
Kini mimpi
Fira telah tertunda. Ia kini bersekolah di sebuah SMP yang dekat dengan
rumahnya. Fira telah belajar dari pengalaman yang Tuhan berikan kepadanya,
pengalaman yang mungkin tidak akan dilupakannya karena pengalaman itu sangat
berharga dan akan menjadi motivasinya untuk hidup ke depan dengan lebih baik.
Ia juga akan bersungguh-sungguh menyelesaikan sekolah di SMPnya hingga lulus dan
ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan memasuki pondok yang berbeda
dengan sebelumnya dan ia tidak mau kejadian serupa terulang kembali di pondok
selanjutnya. Fira ingin mencapai cita-cita tingginya itu. Fira mempunyai
motivasi yang akan ia tanamkan dalam kehidupannya, karena semangat Man Jadda Wajada! Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar