Minggu, 30 Desember 2012

Sinopsis Novel Negeri 5 Menara


Pertengahan tahun 1988 Alif akan lulus SMP. Bersama sahabatnya, Randai, mereka berharap bisa masuk SMA terkenal di Bukit Tinggi, lalu lanjut kuliah di ITB. Namun Amaknya menginginkan Alif untuk masuk ke Pondok Madani, sebuah pesantren di sudut Ponorogo, Jawa Timur. Alif memberontak tapi akhirnya memenuhi pinta orangtuanya walau setengah hati.

Ketika tiba di Pondok Madani, dilihatnya tempat itu ‘kampungan’ dan mirip penjara karena peraturan yang ketat dan keharusan ikut kelas adaptasi setahun. Alif sering menyendiri. Seiring berjalannya waktu, Alif mulai bersahabat dengan teman-teman satu kamarnya, yaitu Baso dari Gowa, Atang dari Bandung, Raja dari Medan, Said dari Surabaya, dan Dulmajid dari Madura. Mereka berenam selalu berkumpul di menara masjid dan menamakan diri mereka Sahibul Menara alias para pemilik menara.

Suasana kian menghangat di kelas pertama, saat Alif disentak oleh teriakan penuh semangat dari sang Ustadz: Man Jadda Wajada! Arti kata itu adalah: Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. “Mantra” ini lah yang menambah motivasi keenam anak itu bermimpi. Suatu sore, para Sahibul menara menatap awan dan bercita-cita untuk keluar negeri. Alif melihat benua Amerika di awan. Raja menata Eropa, Atang menggambar Afrika. Dulmajid dan Said melihat Indonesia. Sedang Baso, Asia. Man Jadda Wajada Alif bergeser : dari niat untuk keluar dari pondok Madani, menjadi bersungguh-sungguh mengejar mimpi.

Sabtu, 29 Desember 2012

Rahasia di dalam Bersin



Bismillaahirrohmaanirrohiim..
            Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
            Teman-teman semuana tentunya pernah bersin, kan? Pasti kalian juga tahu do’a ketika bersin, yaitu اَلْحَمْدُ لِله : “Segala puji hanya milik Allah” dan orang yang mendengarkannya diperintahkan untuk membalas dengan do’a يَرْحَمُكَ الله : “Semoga Allah merahmatimu”.
            Nah, tahukah kalian apa rahasia dari do’a tersebut? Kenapa kok, kita disuruh mengucapkan hamdalah setelah bersin, padahal kalimat itu untuk menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang kita peroleh? Teman-teman, selamatnya kita setelah bersin itulah yang dianggap sebagai nikmat yang sangat besar.
            Bersin adalah satu perkara yang penting dalam kehidupan manusia. Para dokter dulu menganggap bersin sebagai sebuah cahaya kehidupan. Mereka mempunyai sebuah ukuran derajat sehat, bahwa manusia tatkala tertimpa suatu penyakit yang berbahaya maka dia tidak mempunyai kemampuan untuk bersin. Dan mereka menganggap bersinnya seseorang yang sakit adalah sebuah kabar gembira kebaikan yang akan terjadi padanya, dan sebuah harapan baik akan jauhnya dia dari bahaya.
            Bersin adalah cara untuk pertahanan diri yang genius dan penting untuk menghilangkan segala masalah saluran pernapasan, baik dari segala macam kotoran atau dari segala macam benda asing yang masuk melalui lubang hidung. Ketika terjadi suatu sentuhan pada rambut-rambut hidung yang berasal dari benda asing, maka rambut-rambut tersebut akan memberi peringatan dengan kecepatan mencapai 100 km/jam, yaitu dengan memerintahkan untuk membuat penghalang dengan sebuah penarikan nafas, kemudian diikuti pengeluaran nafas yang keras melewati hidung untuk mengeluarkan bahaya yang masuk. Demikian juga sekaligus mencegahnya meneruskan jalan melewati saluran pernapasan menuju paru-paru.
            Rahasia di atas adalah untuk bersin normal. Adapun bersin sakit yang terjadi karena pilek, maka orang yang tertimpa tiap kali bersin membaca terus, akan tetapi bagi yang mendengar hendaknya mengucapkan pada yang pertama dan kedua saja. Dan setelah itu mendo’akan baginya kesehatan dengan ucapan عَافَاكَ الله : Semoga Allah menyehatkanmu.
            Semoga bermanfaat,
            Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Sabtu, 10 November 2012

Mimpi yang Tertunda (My Story)


Setiap manusia mempunyai mimpi, begitupun Fahira Nurul Haura’ yang akrab dipanggil Fira, kini sedang duduk di bangku SD kelas 6. Fira anak ketiga dari tiga bersaudara. Dia mempunyai mimpi besar yaitu menjadi seorang guru Bahasa Arab dan berimpian meluncur ke Mesir menuju Kairo tepatnya ke Universitas Al-Azhar, Universitas tertua  dunia. Dia ingin menggapai mimpi itu melalui jalur pondok.
            “Ibu, Ayah, Fira boleh mondok ya?” tanya Fira.                                         
            “Yo karepmu, asalkan kamu betah saja di sana.” jawab Ibu.
            “Bener ndok kata Ibumu. Lagipula kamu kan anak mbontot. Takutnya kamu ndak betah di sana.” sahut Ayah.
            “Insya Allah, Fira betah, Bu. Fira kan kepengin kayak Mas Sesha kuliah di Al-Azhar University of Cairo.” jawabnya dengan mantap.
            “Yowes, Ibu sama Ayah ndak mau maksa, karena toh itu kemauanmu sendiri dan yang menjalaninya nanti yo kamu sendiri.” sahut Ibu.
            “Lalu kapan Fira mulai mondok di Pondok Gontor, Bu?” tanya Fira.
            “Lek  habis Ujian gimana?” sahut Ayah.
            “Ide bagus, Ayah.”  jawab Fira dengan wajah gembira.
Hari-hari terus berjalan, hingga akhirnya Ujian telah selesai dan saatnya pengumuman hasil kelulusan. Betapa senangnya Fira mendapatkan peringkat 3 se-SDnya. Dia langsung bersujud mengucapkan syukur kepada-Nya.
Alhamdulillah... Syukron Yaa Robbii..” ucap Fira.
Ia segera pulang dengan membawa senyum kegembiraan.
Saiki, Fira mau minta janji Ayah sama Ibu kalau habis Ujian, Fira mau  mulai mondok  di Gontor! Pokoknya harus minggu ini Fira ke Gontor” pinta Fira.
            “Nanti dulu Ndok, lihat kondisi Ayahmu, beliau sedang sakit. Tunggu sampai beliau sembuh dulu, baru kita sekeluarga berangkat ke Ngawi ” sahut Ibu.
            “Iya, Fir. Jangan egois seperti itu sayang. Itu ndak baik. Lagipula Gontor itu jauh di Ngawi, Fir. Purbalingga-Ngawi butuh waktu 8-9 jam. Urungkan dulu niatmu. Pikirkan dulu matang-matang, siapkan dulu mentalmu. Jangan sampai kayak adiknya temen mbak yang ndak betah di sana, kur pirang dina thok nang kana cah.” sahut Mbak  Isna, salah satu kakak Fira.
            “Pokoknya harus minggu ini..!!” pinta Fira dengan sedikit membentak. Matanya mulai mengeluarkan air mata dan langsung masuk ke dalam kamarnya dengan menggebrak  pintu kamar yang akan dikuncinya dari dalam.
            Dengan air mata yang masih membanjiri pelupuk matanya, Fira segera mencari buku-buku tentang pondok yang akan dia singgahi itu, Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 2 Ngawi, Jawa Timur termasuk brosur pendaftaran yang selalu berada di dalam tasnya untuk mengurangi kesedihannya.
            Sementara di luar, Ibu, Ayah dan kedua kakak Fira berdiskusi masalah Fira tadi. Akhirnya mereka sepakat untuk tetap mengantarkan Fira ke PMDGP 2 pada hari kamis malam, karena jika mereka berangkat malam, maka jalanan masih sepi dan tidak rawan terjadi macet, sampainya juga pagi hari, matahari masih belum menampakkan sinarnya.
            “Keluar sebentar, Ndok.” pinta kakak pertama Fira, Mas Sofyan namanya, tapi lebih akrab dipanggil Mas Iyan. Dengan perasaan masih emosi, Fira keluar dari kamarnya.
            Ayah memulai pembicaraan tentang rencana untuk mengantar Fira di hari kamis mendatang. Tanpa basa-basi, saat Fira mendengar ucapan ayahnya bahwa ia akan diantar ke sekolah barunya hari kamis mendatang, ia langsung memeluk Ibundanya dan mencium pipinya. “Terimakasih Yaa Allah, Engkau telah mengabulkan do’aku.” ucapnya dalam hati.
            Kamis di pagi harinya, Fira dan Mbak Isna mempersiapkan segala kebutuhan yang akan dibawa ke pondok. Mulai dari 4 stel pakaian dan rok panjang, disana boleh memakai celana panjang bukan jeans atau sejenisnya jika pada waktu-waktu tertentu saja, itu juga hanya sekali-dua kali memakainya, kecuali pakaian olahraga yang bawahannya memakai celana panjang. Kemudian, Fira juga menyiapkan peralatan mandi, disana dia harus mandiri, mencuci pakaian, peralatan makan harus sendiri. Sampai terakhir saat Mbak Isna beranjak pergi ke dapur, ia tak lupa menyelipkan foto Mbak Isna dan Ibunya.
            Malam harinya, sekitar pukul 22.00 WIB, Fira dan keluarganya berangkat menuju Ngawi dengan menggunakan mobil milik salah satu sanak saudara Ayah. Di perjalanan, yang ada Fira hanya bermain terus-menerus dengan Mbak Isna hingga mereka berdua akhirnya terlelap tidur terhipnotis angin malam yang memang sedang dingin-dinginnya.
***
            Esok harinya, mereka rehat sebentar untuk menunaikan sholat Shubuh di sebuah rumah makan tak jauh dari pondok gontor, hanya beberapa meter saja, sekalian juga mandi dan makan di sana.
            Sampai di pondok, Fira kagum dengan pondok barunya yang akan dia tempati, “Subhanallah..” dalam hatinya. Di kejauhan terdengar suara anak bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Arab. “Sobaakhul khoir, yaa Shodiiqoh..”, “Sobaakhunnuur..”, “Sur’ah ilal fashli..!!”, “Na’am..”. Di Pondok Gontor setiap 10 kamar membentuk satu rayon. Rayon di sana bermacam-macam nama, yaitu ada rayon Damaskus, rayon Yerussalem, rayon Makkah, rayon Madinah, rayon Beirut, rayon Iskandaria, dan masih ada lagi yang lain. Fira melihat semua itu seperti surga dunia yang baru pernah dijumpainya. Ia bertemu dengan teman baru saat pendaftaran.
            “Kenalkan, namaku Fahira Nurul Haura’ dari Purbalingga, Jawa Tengah. Kamu boleh panggil aku Fira. Nama kamu siapa?” Fira mencoba memperkenalkan diri.
            “Namaku Nur Fitria Hidayati, panggil saja aku Fitri. Aku dari Palembang, Sumatera Selatan.” jawab Fitri. Mereka berdua mulai akrab.
Malam pun tiba, saatnya tes masuk pondok. Fira sedikit gugup menghadapinya. Tes itu terdiri dari pelajaran matematika, imla’/dikte menulis arab, pengetahuan agama, dan masih banyak lagi. Ada juga tes sholat dan membaca Al-Qur’an. Fira yang sudah khatam beberapa kali harus mengulang di Iqro’ 6 karena saat membaca Al-Qur’an, nafasnya masih kurang panjang. Pengumuman tes akan menentukan kelas dan akan ditempelkan esok paginya di Mading.
Fira mendapat kamar 6 rayon Yerussalem yang sama dengan Fitri. Sebelum meninggalkan Fira, Ibu dan Mbak Isna sempat merapikan barang-barang Fira di sebuah kamar seukuran ruangan kelas yang berisi sekitar 15 orang. Mereka tidur dengan kasur lantai dan mempunyai sebuah lemari yang terletak di bagian belakang tempat tidur masing-masing santriwati. Waktu untuk Ibu dan Mbak Isna meninggalkan Fira pun tiba, Fira berusaha tabah dan tetap tersenyum walaupun matanya sudah terlihat memerah. Saat perpisahan itu, Fira hanya mencium tangan Ibu dan Mbak Isna, karena laki-laki dilarang masuk ke lingkungan rayon santriwati.
“Ibu, Mbak Isna, do’akan Fira sehat selalu di sini ya.” terang Fira.
Insya Allah. Masih ada Allah dan teman-temanmu disini kan.” sahut Ibu.
Nggih, Bu. Fira pamit, Mbak, Bu.”
Dari balik pintu kamar, Fira mengintip pergerakan Ibu dan Mbak Isna sampai tidak terlihat lagi. Air matanya mulai menetes perlahan, hatinya sakit, serasa diiris sebilah pisau. Tapi ia harus tabah, karena itu adalah pilihan dia sendiri, demi masa depan yang lebih cerah. Di kamarnya, ia bersebelahan tempat tidur dengan Fitri.
***
Esok harinya, Fira bangun untuk sholat Shubuh berjama’ah di lapangan, tepatnya di halaman depan rayon Damaskus. Setelah itu, Fira mengantri untuk mandi pagi di kamar mandi yang letaknya di belakang setiap rayon. Setiap satu bak air digunakan untuk beberapa kamar mandi, jadi kalau bak air untuk mandi dan mencuci itu kotor ya wajar, karena pastinya sudah banyak yang memakainya. Tanah di Ngawi kering sehingga air di Ngawi juga terasa tidak seperti air yang normal, berbeda jauh dengan air di Purbalingga.
Sur’ah.. Sur’ah.. Cepat.. Cepat.. Kamissaa’atul aan! Sudah jam berapa sekarang!” teriak seorang santriwati dengan menggedor-nggedor pintu salah satu kamar mandi. Suasana di sekitar kamar mandi mulai ricuh. Kesabaran mereka mulai memuncak. Fira tetap bersabar, hingga tersisa hanya beberapa santriwati saja.
Setelah mandi, dia terkejut, karena hanya tinggal dia seorang yang berada di kamar mandi. Fira pergi ke kamarnya dan dilihatnya teman-temannya sedang memakai sepatu mereka. Fira membereskan buku-bukunya dan segera berangkat menuju kelas. Fira mendapatkan kelas F3, kelas urutan unggulan ke-3, karena santriwati pandai yang mengikuti tes kemarin berada di kelas F1. Sesampainya di depan kelas-kelas santriwati, Fira tampak bingung, karena ia belum tau dimana kelasnya berada. Fira segera bertanya dengan Ustadzah Yohanna yang sedang berjalan mengelilingi kelas-kelas.
“Assalamu’alaikum Ustadzah, ‘afwan, ana mau bertanya, kelas F3 ada dimana ya?” tanya Fira.
“Wa’alaikumussalam Warohmatulloh, oh iya nak. Di sebelah sana.” jawab Ustadzah Yohanna dengan menunjuk sebuah ruang kelas yang dekat dengan Tempat Pembuangan Sampah (TPS).
***
            Hari mulai berlalu begitu lambatnya menurut Fira. Karena kesehariannya, dia hanya termenung, menangis, dan sesekali menelpon ke orang rumah di Purbalingga dengan pergi ke wartel pondok. Saat itu tiga hari Fira berada di sana. Sholat Shubuh kan tiba. Fira mengantri mengambil air wudhu. Sholat Shubuh berjama’ah dilakukan seperti biasa di halaman rayon Damaskus dengan diawali puji-pujian. “Ilahiilas tulilfirdaus siahlaan, walaa aqwaa ‘alannaaril jahiimi..”. Sholat Shubuh pun tiba, semua santriwati berbondong-bondong menuju halaman rayon Damaskus. Kejadian tidak terduga pun terjadi saat pertengahan sholat. Fitri yang berada di depanku, tiba-tiba melemas dan jatuh pingsan, tetapi kami semua tetap melaksanakan sholat hingga selesai.
            “Walah, iki sopo, soko rayon lan kamar ndi?” sahut seorang Ukhti (sahutan kepada anak yang tidak lulus pada tahun sebelumnya/berarti “kakak perempuanku”) sembari menolong Fitri.
            “Ini sohib satu kamar ana di rayon Yerus 6, Ukh. ‘Afwan sudah merepotkan. Syukron sebelumnya.” balas Fira sembari memapah Fitri menuju kamar. Fira tidak tega meninggalkan Fitri sendiri di kamar, tetapi ia harus segera masuk kelas. Akhirnya Fira hanya mengantarkan sarapan dari kantin santriwati untuk Fitri di kamar.
***
            Pagi itu, hari kelima Fira berada di PMDGP 2, tepatnya di hari Jum’at. Santriwati rayon Yerussalem berbondong-bondong keluar dari kamarnya dengan mengenakan pakaian pondok berwarna merah muda yang di bagian belakangnya bertuliskan “PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR PUTRI” untuk menerima mufrodat (kosakata) baru. Di depan rayon Yerussalem, para santriwati telah bersiap-siap membentuk dua barisan berhadap-hadapan satu sama lain. “Khammaamun artinya kamar mandi.. Dalwun artinya ember.. Baabun artinya pintu.. Mirkhaadun artinya WC/Toilet.. ” Ustadzah mulai memberikan mufrodatnya.
            Setelah belajar mufrodat baru, semua santriwati dari semua rayon melakukan SKJ (Senam Kesehatan Jasmani) di lapangan pondok. Semua tampak sudah bisa melakukan SKJ tersebut, hanya beberapa saja yang belum bisa, mungkin saat SD/MI dulu sudah pernah diajarkan oleh guru penjas mereka termasuk juga Fira, ia sudah mahir bergeraknya, karena saat di SD dulu SKJ masuk ke dalam ujian prakteknya.
            SKJ selesai, kini semua santriwati lari berurutan mengelilingi area pondok. Suasana menjadi ramai seusai berlari. Mereka semua berkumpul kembali di halaman kantor Ustadzah-Ustadzah yang luas. Hal yang ditunggu-tunggu akhirnya akan datang, yaitu pengumuman RAYON TERBERSIH dan RAYON TERKOTOR yang diumumkan setiap minggu. Semua santriwati merasa deg-degan dengan pengumuman yang akan disampaikan.
            “Sebuah plang bertuliskan “RAYON TERBERSIH” akan diberikan kepada rayon..............YERUSSALEM........!!!!!!” teriak Ustadzah.
            “Alhamdulillaahirobbil’aalamiin.....Syukron Yaa Allah.” teriak para santriwati asal rayon Yerussalem.
            “Dan sebuah plang bertuliskan “RAYON TERKOTOR” akan diberikan kepada rayon..............mana ayo?” tanya Ustadzah.
            “Damaskus..!! Damaskus..!! Damaskus, Ustadzah..!!” teriak seorang santriwati asal rayon Damaskus.
            “Benar.. rayon Damaskus... Kalian itu seharusnya selalu menjaga kebersihan rayon, ingat annadzhofatu minal iiman (kebersihan sebagian dari iman). Anggap saja kamar yang kalian tempati sebagai kamar rumah kalian, dan kamar yang lain dalam satu rayon sebagai tetangga-tetangga kalian, halaman rayon sebagai halaman rumah kalian yang mesti dijaga kebersihannya agar kalian tetap sehat dan nyaman di rayon Damaskus. Kalian juga harus pintar-pintar bekerja sama saling membantu antar teman jika mereka membutuhkan, ini tidak hanya untuk rayon Damaskus saja, tetapi juga untuk rayon Yerussalem, Makkah, Madinah, Beirut, Iskandaria, dan yang lainnya. Fahimtum? (kalian faham)?” jelas Ustadzah Qonnita.
            “Na’am, fahimna (Ya, kami faham).” jawab santriwati dengan serentak.
            “Ayo sekarang kalian lakukan Jum’at bersih membersihkan rayon kalian masing-masing.” seru Ustadzah Amalia.
            Fira dan teman-teman segera masuk ke kamar.
            “Putri dan Nawar! Kalian bertugas membersihkan di dalam kamar ini dan yang lain membersihkan kamar mandi.” titah Ustadzah.
            “Baik, siap Ustadzah.” jawab Putri dan Nawar hampir bersamaan.
            “Yah, Ustadzah.” sesal salah satu santriwati, Mayang.
            Di dalam kamar mandi, yang ada kami hanya terkejut melihat sesuatu yang ada di dalam bak air yang panjang itu.
            “Yaa Allah.. Kok bak mandi isinya kayak gini ya? Kada etis pisan (tidak sopan sekali.” sahut Muthia, seorang santriwati yang berasal dari Kalimantan Selatan.
            “Na’am, haadzihii najis (ya, ini najis). Coba Fitri, anti (kamu perempuan) cari gantungan baju yang sudah ndak dipakai, juga untuk yang lain, siapa yang berani masuk ke dalam bak dengan ana untuk membersihkan bak?” kata Fira.
            “O.K. my bestfriend.” jawab Fitri dengan senyumannya.
            “Ana mau Fira.” sahut Mayang dan Putri.
            Selang waktu kemudian, tiba-tiba Mbak Isna berada di belakang Fira.
            “Fira...” suara Mbak Isna.
Mbak Isnaaa... Fira kangen..” sahut Fira dengan tetes air mata yang mengalir kian deras.
Mbak Isna juga kangen. Ndang ke depan rayon. Ibu sudah disana.” pinta Mba Isna.
Tidak lama kemudian, Fira bertemu dengan Ibundanya di halaman rayon.
“Firaa... Ibu kangen sama Fira.. Jangan nangis terus sayang, Ibu sudah di sini. Fira betah apa ndak? Apa Fira mau pulang saja?” kata Ibu.
“Fira sudah lumayan betah bu di sini, tapi menurut ibu bagaimana seharusnya? Kalau Fira disuruh pulang, ya Fira mau-mau saja. Asalkan nanti masih ada SMP/MTs yang masih mau menerima Fira. Fira belum kerasan sama airnya, Bu. Sikat gigi saja Fira harus pakai air minum. Jadi satu hari Fira bisa menghabiskan 1,5 liter buat minum sama gosok gigi, Bu.”
“Sudah Fira pulang saja ya. Ibu belum tega meninggalkanmu di sini sendirian. Sementara saudaramu, mba Diana, kan ada di Gontor 3. Nanti kalau lulus SMP mungkin Fira sudah semakin dewasa dan mandiri. Nanti baru masuk pondok lagi ya.” pinta Ibu.
“Baik, Bu. Fira akan menuruti kata Ibu saja. Maaf ya, Bu. Fira sudah mengkhawatirkan Ibu. Maaf juga sewaktu itu, saat Fira ngotot ingin pergi kesini.” sesal Fira dengan tangisannya yang sudah tidak bisa ditutup-tutupi.
Di dalam kamar Yerussalem 6 berisi suasana haru.
“Fira, anti mau ngapain?” tanya Fitri.
Ana mau pulang.” jawab Fira.
“Pulang untuk selamanya?” tanya Fitri lagi.
Na’am, Ma’annajah fil ma’had! Man Jadda Wajada (Ya, semoga sukses di dalam pondok! Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil)” sahut Fira.
Berlinanglah air mata Fitri dan teman-teman sekamar yang lainnya. Ibu dan Mbak Isna mulai mengemas-ngemasi barang-barang Fira.
Kini mimpi Fira telah tertunda. Ia kini bersekolah di sebuah SMP yang dekat dengan rumahnya. Fira telah belajar dari pengalaman yang Tuhan berikan kepadanya, pengalaman yang mungkin tidak akan dilupakannya karena pengalaman itu sangat berharga dan akan menjadi motivasinya untuk hidup ke depan dengan lebih baik. Ia juga akan bersungguh-sungguh menyelesaikan sekolah di SMPnya hingga lulus dan ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan memasuki pondok yang berbeda dengan sebelumnya dan ia tidak mau kejadian serupa terulang kembali di pondok selanjutnya. Fira ingin mencapai cita-cita tingginya itu. Fira mempunyai motivasi yang akan ia tanamkan dalam kehidupannya, karena semangat Man Jadda Wajada! Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil!